Analisis Sajak "Arunika" Karya Siti Jalilatun Muthmainnah (SJM) Perspektif Semiotika
Oleh: Abdul Hayyi
ARUNIKA
Aku adalah keindahan tanpa suara
Biar mereka menilai semaunya
Aku adalah gugusan arunika
Yang tampak dari buritan
Aku adalah sajak-sajak langit
Terlihat nyata dalam balutan mega
Terkadang orang berceloteh padaku
Bermain rayu dan bertukar semu
Aku hanya mampu meniru
Insan berkabut meramu kelu
Terkadang aku dijadikan samsak
Disaat mereka sesak
Saat tangis mulai isak
Antara hiruk pikuk tawa mengakak
Aku adalah mentari pagi yang ingin dikenang
Semesta menjelma rajah
Sanjung puan indah
Berderit hati megah
Dasan Borok, November 2022
(Sumber puisi: https://massmedia.id/arunika/)
Arunika merupan puisi yang cukup padat ditulis oleh penulis muda berbakat yang berusaha terus mengasah ketajaman berpikirnya secara tepat. Salah satu puisi yang dikarang pada November 2022 ini juga cukup berisi dan kaya akan gaya bahasa dan diksi. Tidak heran jika puisi ini pernah menjadi juara pertama pada sebuah perlombaan.
Sebagai pijakan, saya akan menganalisis puisi ini dari perspektif semiotik. Semiotik sendiri berasal dari kata smeion (Yunani) yang berarti tanda. Semiotik adalah ilmu yang meneliti tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu tanda diartikan (dalam Taum, 1997).
Studi tentang tanda itu disebut juga dengan“Semiologi, diperkenalkan pertama kali oleh Ferdinad de Saussure ahli lingusitik berkebangsaan Swiss. Menurut Seassure bahasa adalah sistem tanda, dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu dengan yang lain, yakni signnifiant (penanda) dan signifie (petanda). Penanda adalah asfek formal atau bunyi pada tanda itu. Sedankan petanda adalah asfek makna atau konseptual dari suatu penanda (Taum. 1997).
Sehingga studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis karya sastra, dalam hal ini puisi, sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna (Pradopo, 2012 : 123)
Berpijak dari pengertian-pengertian di atas, maka pada kesempatan ini saya mencoba menemukan makna dari tanda (sign) dalam puisi “Arunia” karya SJM.
Kata arunika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta. Arunika memiliki dua pengertian, yakni (1) seberkas cahaya matahari setelah terbit di pagi hari, dan (2) pemandangan matahari terbit. Kedua makna ini memiliki maksud yang sama yaitu menjelaskan fenomema alam ketika pagi hari. Sebagaimana yang kita ketahui saat pagi adalah saat yang sangat indah, sejuk, dan hening. Waktu pagi adalah waktu yang masih sangat bersih, bebas dari polusi udara. Jadi, arunika merupakan sebuah tanda yang menunjukkan si penulis memang masih dalam keadaan remaja, belum banyak tingkah dan polah, dan tentunya masih punya masa depan yang cerah.
Mari membahas satu persatu setiap larik puisi Arunika tersebut.
/Aku adalah keindahan tanpa suara/ Larik ini menunjukkan bahwa si /aku/ lirik sedang mengibaratkan dirinya sebagai suatu keindahan yang tanpa disuarakan. Yang berarti pula bahwa pada dasarnya si aku adalah seseorang yang tidak bersuara. Artinya dia memilih diam, tidak memberitakan tentang siapa dirinya. Keadaan tersebut dipertegas pada larik kedua /Biar mereka menilai semaunya/. Yang berarti bahwa ia menyerahkan kepada orang bagaimana pendapat orang-orang tentang dirinya.
Lalu pada bait kedua, penyair menyatakan dirinya sebagai arunika, /Aku adalah gugusan arunika/. Seperti yang dijelaskan tadi bahwa arunika adalah pemandangan matahari saat terbit. Atau lanskap langit ketika matahari terbit. Tentu pemandangan itu sangat indah. Kita tahu bahwa banyak orang-orang ketika subuh pergi ke pantai hanya untuk melihat matahari terbit. Karena saking indahnya warna langit saat itu.
Larik tadi disambung dengan kalimat /Yang tampak dari buritan/. Yang menunjukkan bahwa pemandangan itu (arunika) benar-benar terlihat jelas saat dilihat dari sisi belakang kapal (buritan). Namun apabila dilihat dari haluan kapal, maka pemandangan itu bisa saja terhalang. Sebab posisi kapal sedang berlayar menuju barat membelakangi terbitnya matahari.
Berikutnya, penyair mempertegas dirinya kembali pada bait ketiga
/Aku adalah sajak-sajak langit/, /Nampak nyata dalam balutan mega/
Penyair memang menulis bagian awal puisi ini dengan gaya bahasa paralelisme. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperjelas gambaran tentang dirinya. Karena kalau hanya dijelaskan dengan satu kali mungkin tidak cukup, maka sang penyair memilih untuk mengulangi beberapa kali tetapi dengan pengandaian yang bervariasi.
Aku lirik dalam bait ini menyatakan diri sebagai sajak-sajak langit yang nampak nyata dalam balutan mega. Jadi, masih setimpal dengan bait sebelumnya. Arunika itu adalah sajak-sajak yang dibalut oleh awan. Jadi awan di sini bisa saja menjadi penghalang bagi arunika untuk keluar atau muncul.
Hal ini bisa dibuktikan pada bait berikutnya, si aku lirik mendapatkan perlakuan yang kurang baik terhadap dirinya. Inilah awan atau penghalang yang dimaksudkan tadi. Gambaran pada bait-bait awal tentang dirinya sebagai arunika, yang tergambar indah dan menawan berbanding terbalik dengan kenyataan yang dialaminya. /Terkadang orang berceloteh padaku/ orang berkata-kata tidak karuan terhadapku). Lalu disambung lagi dengan /Bermain rayu dan bertukar semu/ (Mereka merayu dan seperti berusaha menjebak atau menipu). Larik /Aku hanya mampu meniru/ adalah puncak kegelisahan si aku lirik. Bahwa orang-orang menganggapnya hanya kepalsuan, apa yang dimilikinya hanya hasil meniru, sehingga si aku lirik pun merasa rendah diri menjadi /Insan berkabut meramu kelu/, (ia menjadi manusia yang dirundung sedih dan tidak bisa berkata apa-apa atas tuduhan itu).
Bait berikutnya masih berupa konflik-konflik batin si aku lirik. /Terkadang aku dijadikan samsak/. Yang berarti bahwa si aku lirik kadang dijadikan sebagai tameng atau perisai. Hal ini terjadi /Disaat mereka sesak/, yaitu di saat orang-orang tadi susah. Lalu /Saat tangis mulai sedih/, yaitu saat mereka sedih. /Antara hiruk pikuk tawa mengakak/ (yang juga kadang antara tawa mereka yang mengakak). Jadi, si aku lirik dibutuhkan saat orang-orang disekitarnya mulai dalam keadaan yang susah atau berpura-pura susah.
Bait terakhir puisi ini sangat peminim, dan dilukiskan dengan indah. Si aku lirik mengakui siapa dirinya, dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan.
/Aku adalah mentari pagi yang ingin dikenang/
/Semesta menjelma rajah/
/Sanjung puan indah/
/Berderit hati megah/
Jadi, kembali ditegaskan si aku lirik adalah mentari pagi. Penyair memang cukup konsisten mengatakan dirinya sebagai gambaran arunika, yaitu pemandangan yang indah di pagi hari. Namun ada satu hal yang diinginkan di sini yaitu ingin dikenang. Ibaratnya si aku lirik ingin dielu-elukan juga. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat manusiawi. Dan merupakan eksistensi manusia itu sendiri. Sebagaimana dikatakan /Semesta menjelma rajah/, bahwa (sudah menjadi suratan takdir), /Sanjung puan indah/ (wanita perlu disanjung dengan indah), dengan begitu ia akan /Berderit hati megah/ (berteriak dan merasa bangga hatinya). Inilah sesuatu yang diungkapkan dengan sangat jujur dan indah itu. Betapa wanita memang adalah makluk yang sangat halus perangainya, dan ia perlu disanjung dengan lembut.
Demikian tadi apa yang bisa saya tangkap dari tanda-tanda (sign) yang ada di dalam puisi Arunika karya SJM. Barangkali bisa membantu menuntun pembaca dalam memahami puisi tersebut. Akan tetapi, analisa ini tentu masih sangat dangkal, juga belum sesuai dengan apa yang dihajatkan oleh penyair dalam puisi tersebut. Karena memang keterbatasan penelaah sendiri. Lagi pula puisi tidak bisa diinterpretasi oleh sesorang lalu hasilnya adalah baku. Puisi yang bagus justeru adalah puisi yang memiliki banyak tafsir.
Akhirnya inilah memang sebuah karya sastra yang sesungguhnya. Bukan sekedar bergagah-gagahan dengan kata-kata. Akan tetapi karya sastra yang sesungguhnya adalah potret kehidupan manusia yang sebenarnya. Dan menurut saya puisi ini memang sangat layak untuk ditelaah. Meski ditulis oleh seorang pelajar, akan tetapi kedalaman maknanya cukup membuat tercengang.
Selamat membaca.
Daftar Pustaka
Esten, Mursal. 2000. Kesustraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.Jabrohim, dkk. 2001. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta. Gajah Mada University Press
Sugihastuti. 2007. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah Utama.
Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tentang Penulis Sajak Arunika
Siti Jalilatun Muthmainnah atau lebih dikenal SJM
Lahir pada 2005 di Dasan Borok, Kec. Suralaga, Lombok Timur. Tempat sekolah MI NW No 1 Boro'Tumbuh (2017) MTs NW Boro'Tumbuh (2020) dan MA NW Boro'Tumbuh (2023)
Post a Comment for " Analisis Sajak "Arunika" Karya Siti Jalilatun Muthmainnah (SJM) Perspektif Semiotika"