Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Lahirnya Ka-Lam dari Sebuah Mimpi Ngeri

kalam

KA-LAM: Miris, bila kita mendengar dan membaca fakta di lapangan, tentang perkembangan literasi di tanah air. Lebih-lebih di Nusa Tengga Barat, wabilkhusus di Pulau Lombok. Data statistik menunjukkan bahwa NTB menempati posisi kedua angka buta huruf di Indonesia dengan usia 15-59 tahun, dengan persentasi 7,91 persen. Posisi tersebut di bawah Papua yang menempati posisi nomor satu angka buta huruf di Indonesia, yakni 28,75 persen. Dan parahnya, di telisik-telisik, ternyata kita kalah dengan provinsi di timur kita, NTT yang menempati posisi ke-3 yaitu (5,15 persen).

Baca juga: Mengapa Harus Kalam?

Ini masalah buta huruf. Masalah buta huruf tentu saja berpengaruh besar terhadap tingkat kegemaran membaca dan menulis di suatu negara. Bagaimana orang membaca, bagaimana orang bisa menulis, mengenal huruf saja belum. Bila demikian, lantas seperti apa tingkat literasi anak Indonesia?

Berdasarkan hasil survey Programme for Internasional Student Assessment (PISA) tahun 2009 tingkat literasi anak Indonesia berada pada posisi ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), Sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012.

Sehingga dalam hati kecil seperti meringis, mengapa ini bisa terjadi? Sementara banyaknya sekolah-sekolah, madrasah-madrasah yang mencetak tunas-tunas bangsa agar melek literasi. Tetapi ternyata itu tidak sebanding. Hal itu berarti bahwa praktik pendidikan di tanah air masih belum sepenuhnya mampu menjadikan anak Indonesia menjadi terampil membaca dan menulis. Padahal  membaca dan menulis merupakan langkah awal mereka untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Sementara itu, salah satu faktor kemajuan dan kemandirian intelektual adalah ketika orang-orang sudah mahir membaca dan menulis. Karena memang, kita tidak akan pernah dianggap intelektual sejati jika kita tidak memiliki sebuah karya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Hal ini sejalan dengan apa yang dipesankan oleh Iman Al-Gazali: “Jika kau bukan anak raja, atau bukan anak ulama besar, maka menulislah.”

Dari sini kita bisa merenungkan pula pribahasa, jika harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Maka manusia mati seharusnya meniggalkan karya.

Berdasarkan fakta dan analisa ini, keinginan untuk andil dalam menggalakan literasi di tengah-tengah masyarakat tidak bisa dipungkiri. Melihat Indonesia yang buta membaca dan lumpuh menulis membuat jiwa menjadi terpanggil. Sesungguhnya, kami ingin terbagun dari mimp ngeri.

Baca juga: Kalam di Antara Jiwa-Jiwa yang Gundah

Post a Comment for "Lahirnya Ka-Lam dari Sebuah Mimpi Ngeri"